Bintik Hitam Mentari

Mentari telah pergi tuk slamanya. Tak banyak yang tersisa. Hanya sebuah buku diary usang yang lembarannya sudah bercerai-berai dengan sampulnya. Aku mulai menyusunnya satu persatu. Halaman per halaman kususun dengan rapi. Berharap tak satu pun dari halaman itu hilang.
Setelah selesai menyusunnya, aku membuka lembaran pertama,
Rabu, 7 Mei 1987, aku melahirkan seorang putri yang sangat cantik. Mulutnya kecil, mukanya merah, serta mempunyai tangan dan kaki yang imut. Dia masih terlihat sangat lemah. Aku ingin sekali melindunginya sampai ia dewasa kelak.


Bibirku tersenyum malu membacanya. Seakan aku berada dalam timangannya. Hangat.. Satu kata. Hangat. Kehangatan yang kini telah menghilang tuk slamanya. Namun kan selalu kurasakan dalam hatiku. Dan aku harap, kehangantan itu takkan pernah pudar.
Lalu, aku membuka halaman selanjutnya,
Kamis, 5 Juli 1987, dia mengompol dipangkuanku. Aku dapat melihat dari wajahnya yang mungil, dia merasa malu. Dia sangat lucu. Aku sayang padanya…
Aku tertawa membacanya. Seakan-akan yang dibicarakan dalam diary itu bukan aku. Aku menerawang jauh. Mencoba membayangkan apa yang kulakukan setelahnya. Tapi bagaimana pun aku mencoba, bayangan itu tidak muncul. Yang kutahu, kasih sayangnya begitu besar. Dia membanting tulang menghidupiku selama ini, merawatku dan membesarkanku sendirian hingga saat ini. Sampai aku berusia dua puluh empat tahun.
Selasa, 2 Agustus 1988, dia mulai berjalan! Kaki-kakinya yang kecil kini bisa berdiri tegak untuk mulai berjalan. Walaupun langkahnya kecil dan tak seimbang, dia mulai berjalan! Matahari kecilku mulai berjalan!
Saat membacanya, aku merasa sangat terharu. Hal kecil itu bahkan diabadikannya dalam sebuah foto hitam putih yang tertempel pada halaman diary yang sedang ‘ku baca. Aku memandanginya. Aku ingin kembali ke masa itu. Masa dimana aku akan selalu bersamanya. Masa dimana aku ditimangnya.
Rabu, 17 Agustus 1989. Dia memanggilku mama. Betapa terharunya hatiku. Bahkan aku akan menyerahkan seluruh jiwaku untuk dapat terus mendengarnya memanggilku mama. Aku ingin selalu terus melindunginya. Menyayanginya. Seumur hidupku.
“Aku juga akan menyerahkan segalanya agar aku dapat terus mendengarmu memanggil matahari kecilku. Aku masih membutuhkanmu!” Tetesan air mata kini membasahi pipiku. Aku masih belum dapat melepaskannya pergi. Aku tahu, di dunia ini, tak akan ada yang abadi. Sekali pun cinta! Karna pada saat kita kembali ketempat-Nya, semua kan terlupakan. Tapi, aku rela mengorbankan segalanya demi ingatanku bersamanya. Aku tak ingin menjualnya pada siapa pun dan menukarkannya dengan apapun.
Aku tak sanggup lagi membuka halaman selanjutnya. Karena semua isi diary itu akan mengingatkanku padanya, yang baru seminggu meninggalkanku. Tapi tanganku seakan tak mau kompromi, sehingga lembaran selanjutnya pun terbuka. Didalamnya menceritakan tentang pertama kali aku masuk sekolah. Perasaanku yang kehilangan dirinya, seakan terkecoh dengan masa kecilku. Banyak cerita tertuang disini. Dan banyak potongan-potongan ‘puzzle’ yang pernah hilang kembali kutemukan disini. Halaman ini menceritakan tentang aku yang waktu itu sangat takut bergaul dengan orang lain, bahkan sama guru pun aku takut.
“Kalau diingat-ingat, bagaimana ya kabar Bu Sandra? Apa dia masih seperti dulu?” Tanyaku sambil mengingat masa itu.
Ada satu kejadian yang tak pernah kulupakan mengenai Bu Sandra. Waktu itu musim hujan. Aku ingin sekali pergi ke kamar kecil, tapi tidak diijinkan. Aku sangat kesal karenanya. Dan aku langsung mogok sekolah. Tak disangka, Bu Sandra datang kerumahku. Dia menjelaskan kepada mama, mengapa aku tak diijinkan pergi ke toilet. Itu disebabkan aku sudah lima kali ke toilet dalam waktu kurang dari satu jam. “Seharusnya dimasukin rekor muri tu,” kataku menghayal.
Aku tak menyangka diary itu akan sangat berarti. Karena di dalam diary kita dapat menulis segala sesuatu yang nantinya akan menjadi manis. “Mestinya aku menulis diary dari dulu”.
Lalu, aku mulai membuka halaman selanjutnya. Namun, aku sangat terkejut. Rangkaian huruf-huruf itu tak pernah kuharapkan sebelumnya. Aku tak pernah menyangka!
Sabtu, 17 Agustus 1997, dia kembali! Tapi, kini dia membawa berita yang tak ingin kudengar. Satu kata. Pernikahan. Andaikan itu adalah pernikahanku dengannya, mungkin itu merupakan kabar gembira. Tapi, bukan itu yang terjadi. Dia menemuiku dengan membawa seorang gadis kecil seumur Tari. Dia bahkan menyalahkanku karena aku telah melahirkan Tari. Hasil hubunganku dengannya!
Seketika, tubuhku bergetar. Aku berusaha menipu diriku sendiri. Aku berusaha mencari penjelasan lain yang tidak menyakitiku. Tapi bukan itu yang kudapati. Dengan rasa penasaran yang telah menyelimuti diriku, aku membuka halaman selanjutnya.
Minggu 18 Agustus 1997, aku menemuinya di taman sewaktu Tari sekolah. Tapi dia sungguh menyakiti hatiku. Aku sangat menyesal telah mengenalnya. Dia menyuruhku meninggalkan Tari di panti asuhan. Bagaimana mungkin dia dapat melakukan semua itu? Bagaimanapun juga, tari adalah anaknya! Darah dagingnya! Walaupun dia tidak mempunyai status.
Dia tidak mempunyai status! Aku tersentak membacanya. Di dalam tubuhku seakan ada listrik yang mengalir. Aku tak pernah menyangka kenyataan itu yang sebenarnya terjadi. Bukan kenyataan yang selama ini kutahu. Ternyata dari semua cahaya yang dia pancarkan, tersembunyi kegelapan yang tidak ada seorang pun yang tahu. Hanya dia yang telah pergi dan ‘dia’ yang telah mencampakkanku.
Mentari yang selalu menampakkan senyumnya, ternyata menyimpan tangisan dibalik senyuman itu. “1997,” kataku lirih. Dia tentu sangat tersiksa merawatku. Anak yang tak pernah diharapkan.
Aku menutup diary itu. aku tak sanggup untuk membacanya. Kenyataan yang kuterima bagai duri dalam pikiranku.
“Aku tak mampu menerima kenyataan perih ini,” kataku dalam hati. Namun, didorong rasa penasaranku, aku mulai membukanya lagi. Halaman per halaman.
Tapi, aku tak dapat menemukan satu pernyataan yang menyatakan aku adalah anak yang diharapkan.
Senin, 22 Mei 2004, dia sudah tamat SMA. Dia sekarang sudah besar. Sudah dapat menentukan pilihannya. Mungkin, ini saatnya aku harus membiarkannya mandiri.
Kamis, 31 Februari 2008, dia lulus dari perguruan tinggi.
Jumat,
Sabtu.

Aku tetap tidak menemukan satu halaman pun yang menyatakan dia benar-benar mencintaiku. Sampai aku berani menerima kenyataan pahit kalau aku bukanlah anak yang diharapkan. Akhirnya, aku menyerah pada kenyataan. Aku tak dapat menipu kenyataan. Seberapa keras pun aku mencoba, kenyataan tetaplah kenyataan.
Lalu, aku pun menutup diary itu. Saat hendak berdiri dari tempatku duduk, aku menemukan selembar kertas yang masih baru. Yang warnanya masih putih berbeda dengan kertas-kertas lain yang sudah mulai kekuningan.
Jumat, 2 Januari 2011 , umurku sudah tidak lama lagi. Aku tak tau kapan aku akan meninggalkannya. Tapi aku sudah tenang sekarang. Matahari kecilku, kini sudah bertumbuh menjadi matahari yang mampu menyinari bumi ini. Matahari yang akan selalu membawa kehangatan disekitarnya. Matahari kecilku, aku tahu cepat atau lambat, setelah kepergianku, kamu akan membaca diary ini. Maaf.
Maaf, satu kata yang langsung membuatku mencair. Aku ingin sekali menangis dipangkuannya saat ini. Tapi, itu tidak mungkin. Lalu, aku mulai membacanya lagi.
Maaf mama telah membohongimu selama ini. Maafkan mama. Mama tidak bermaksud membohongimu. Namun mama tak sanggup mengatakannya. Karna semua itu akan membuka jahitan luka di hati mama. Tapi percayalah anakku sayang, mama tak pernah menyesal telah melahirkanmu kedunia ini. Kamu adalah matahari mama. Kamu yang membuat mama bisa bertahan hidup sampai sekarang ini. Sampai kapan pun, kamu tetap matahari mama. Percayalah. Mungkin waktu kamu membaca halaman ini, waktu mama sudah habis. Mama berharap, dikehidupan kembali, mama dapat melahirkanmu lagi. Tentu saja, melahirkanmu dikeluarga yang utuh. Tidak seperti kehidupan sekarang. Mama bangga punya anak sepertimu.
Kini, aku benar-benar mencair. Aku tak dapat lagi menahan tangisanku. Aku menangis tersedu-sedunya setelah membaca halaman terakhir itu. Sampai keluar dari mulutku tiga kata yang selama ini tak mampu aku ucapkan.
“Selamat Jalan Ma…


Comments

Popular Posts